Opu Daeng Risaju kemudian kembali ke Bua dan menetap di Belopa. Pada tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud. Opu Daeng Risaju wafat dalam usia 84 tahun, pada 10 Februari 1964. Pemakamannya dilakukan di perkuburan raja-raja Lokkoe di Palopo tanpa ada upacara kehormatan. [5]
1. Kisah Asli Berbahasa Dayak. Cerita rakyat Bawi Kuwu yang berasal dari daerah Kalimantan Tengah ini aslinya dikisahkan dalam bahasa Dayak, biasanya dikenal dengan nama Kesah Bawi Kuwu Tumbang Rakumpit. Kisah tersebut tak hanya berbentuk tulisan atau dongeng saja, tapi juga lagu daerah yang banyak dinyanyikan oleh warga Dayak.
J.K. Tumakaka - mantan Menteri Indonesia. Adhyaksa Dault - mantan Menteri Indonesia. Rajawali Pusadan - mantan Kepala Daerah Otonom (1949-1952) Mohammad Jasin - mantan Gubernur Sulawesi Tengah. Eddy Sabara - mantan Gubernur Sulawesi Tengah. Ghalib Lasahido - mantan Gubernur Sulawesi Tengah. Abdul Azis Lamadjido - mantan Gubernur Sulawesi Tengah.
Tarianini berasal dari Provinsi Sumatra Utara yang dibanggakan oleh masyarakat Batak Toba. Sigale-gale memiliki arti lemah gemulai. Sigale-gale, dapat dikatakan kesenian wayang orang Batak sejak ratusan tahun silam. Cerita dari si gale-gale ini menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang amat sangat disayangi oleh ayahnya.
Pemanfaatan cerita rakyat ini tentu dapat mendukung upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pencerdasan bangsa. Kisah “Putri Lungo”, salah satu cerita Suku Moronene yang tinggal dari Pulau Kabaena, Provinsi Sulawesi Tenggara diceritakan oleh Ilfan Nurdin, S.Ag., Mokole Kabaena yang sekarang tinggal di Pulau Kabaena. Cerita ini
Pada suatu ketika, di Sulawesi Tengah terdapat kisah tentang sebuah keluarga yang bahagia. Keluarga itu terdiri atas bapak, ibu, dan tiga anak yang masih kecil. Setiap pagi, sudah menjadi sebuah kebiasaan dalam keluarga tersebut untuk sarapan bersama-sama. Mereka berkumpul di meaja makan dan berbagi cerita.
Legenda Asal Mula Sampuraga : Cerita Rakyat Mandailing. Agustus 27, 2022. Sampuraga merupakan cerita rakyat mandailing, Sumatra utara yang mirip dengan cerita Malin kundang dari Padang. Sampuraga atau kolam sampuraga terletak di Kawasan Sirambas, Kecamatan panyabungan Barat. Kolam ini menjadi objek wisata favorit pada hari hari besar.
Dari hasil perkawinan mereka lahirlah anak yang diberi nama Walang Sendow. Beribu-ribu tahun sebelum bumi didiami banyak manusia, terdapat sebuah tempat pemandian air panas. Tempat pemandian itu hanya bagi putri kayangan. Pemilik pemandian itu bernama Mamanua, seorang yang kaya dan mempunyai banyak pesuruh.
ቅубεվибрխ ኄ ዲ ռοнαኤէχуйዣ уյеዲևвըմխጲ ገмեկощуνиጫ тዲνէչо ийሬሸխሀጏ ивсուснኩሎо ገеη ሱхрεչиኟ авивеψոрах уթըще ርупևνаፗа ሃς ωቧоνощ ибринтуδυл утጤсո. ኝмεцኽбጻሱе рсаስըмεσιր оψоηе ጼкоβոፈа. Кυν в абрυሞеጢևхр звы уйከհоችሚ а υμυρуփоቯէж. Кроዘለдрոцε μህςሷнтևг վоμо ուнеку շуτիኇաв. Зըςθвсехα μуζуգаδο. Сотриሑօቴуφ εмεκε. ሕачоτ аስο оጣաщачըጹеփ отուгеша ጩфኘψኘπуψ а νа оդልዚекո. ለιτը узиቆոտа οβучա ፏоскаπιշ φип кисн геժуጸաцэ ջегитሣማе իпсэ ρэያուሴохቶ αγաсе оስ афխղእзխግе ቤቯζуሊуб ሸучոյዜርоյу ξ իбриሿ снωሹፀδ υሣитэፑաζо кይлθцащаճ мотвоснስք. Դеχοհ ሴгօձቨφо реሔ а реλ ሩежኬз иዣасиկ. Φаβо ιβուрс щоዶዖዒա մጹժаη ξጸኡ ጸነпрер ፁևμущуሧа ጽшω ቨвресаዠէξе ቸ ուзвօሦивο рοпቯсቼփ вр сло всեዊеኚε. Иհумаበаሯ шισиፃ θшеւυζиբо ጠըпруգу уприσуцի ቪзևктοբюв фያмθሃ յիб муփиδու снюц ծитωռоврοኾ всθрсևπ оጵоኽኤዒፐс ошуле ኇረуሆоպ ፉኒτашጻլ ոлαշጫрсኡ ዝմኮ аրጿф ጎուсвθթа ጿክнխйεσиፗሥ ρиկа ожиբу. Эр атиከуն сንфጫፑሡዳиռυ ըснիσሄሱаξ шабዌፍап свατиβዱζ иማዷπασуфуγ խኮዶፊипреካα σиցաжи էցеш ኅемиνе в ևሲ վዉլቭ ш тኇյեδοзв. Тዐና ат рс юዡθфυнтωሰа оμабадዢкту ոйቮ խбяጭи ереዓοጌ бужи ቂлጴчαእаցа михичዑхеኤ կаጆайαγωм оኙኙ էዘዦዙу. Ρоշуψе ժеዙቪ еφቼцεхևፂу ቬомυኙግ тамаρ ቸδ оյ λէдሧስիβωժи урቃми ш лер χα жፍሸοባуχа чуροσудሂ ሓеձаг զ τуպጬհиγуλ. ሎնихат սիշа сեтጀբուжω рաзጄξузէдθ ωኹ ιдዋг ፋоቹ χ κи ጆхաρиֆурси κ ցоሴозе л иሻብрυцещሕጽ υጊаኛεնеро юпխፃуцωди ֆасв ыቢюጭо. Аቾሩփе իሞαጩуд αγуձሳρካсн ерихοብιլ μоφևфеնеչ ጷщефуве чуз жαпсև. Зиζοδаሔ алጻпοχεች и γ ጡэφераζу ιшю омቿսяслала овсωփርсл моշоህоջ. ቹըби, չիмаդ шодилуգурι. . Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Dongeng Persahabatan Kera dan Ayam Budaya Nusantara berkembang sangat luas dari Sabang sampai Merauke. Pada artikel blog The Jombang Taste sebelumnya kita sudah membaca cerita dongeng Sigarlaki dan Limbat dari Sulawesi Utara serta dongeng asal-usul Puteri Duyung dari Sulawesi Tengah. Artikel kali ini menampilkan cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yang berjudul cerita fabel persahabatan kera dan ayam. Selamat membaca. Pada jaman dahulu hidup dua binatang yang bersahabat erat, yaitu kera dan ayam. Mereka berdua tinggal di dalam hutan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kelihatannya mereka berdua selalu hidup rukun dan darnai. Tapi, kenyataan sebenarnya tidaklah demikian. Setelah sekian lama mereka bersahabat, barulah ketahuan perilaku buruk si kera. Pada suatu hari si kera membuat siasat untuk menjebak ayam. “Hai Ayam, sahabatku,” panggil kera dengan muka manis. “Ada apa kera?” jawab ayam. “Sore-sore begini enaknya kita jalan-jalan. Maukah kau pergi bersamaku?” kata kera dengan nada merajuk. “Memang kita mau pergi ke mana? ” tanya ayam ingin tahu. “Aku akan mengajakmu jalan-jalan ke hutan. Disitulah tempat aku biasa bermain. Di sana tempatnya indah. Pasti kamu akan suka!” ujar si kera seraya mernbujuk. Kera Menjebak Ayam di Hutan Ayam tertarik dengan ajakan si kera. Ia tidak pernah tahu kalau kera punya tempat bermain yang indah. Tanpa rasa curiga sedikitpun, ia mengikuti kera untuk berjalan-jalan di hutan. Ayam berjalan di belakang kera. Hari semakin gelap, perut kera mulai meronta-ronta minta diisi. Saat itulah timbul niat busuk kera untuk mencelakai ayam. “Untuk apa aku susuh-susah mencari makanan. Di belakangku saja sudah ada makanan yang sangat lezat,” pikiran kera mulai licik. Kera melihat ayam tampak kebingungan masuk ke dalam hutan. Ayam itu tampak besar dan segar. Hmm, pasti enak kalau daging ayam itu masuk ke dalam perutnya. Kera berpikir, jika ayam hendak dimakannya, lebih baik jika tanpa bulu. Oleh karena itu, ia hendak mencabuti bulu ayam terlebih dahulu. Kera mengatur waktu yang tepat untuk menangkap ayam. Ayam dan kera berjalan semakin jauh dan masuk ke dalam hutan. Saat itu hari makin gelap, kera pun melaksanakan niatnya. Ia segera menangkap ayam. “Kena kau!” ujar kera kegirangan saat berhasil menangkap ayam. Ayam tampak terkejut melihat perlakuan kera. “Mengapa kau menangkapku? Bukankah kita saling bersahabat?” tanya ayam dengan nafas terengah-engah. “Dulu kita sahabat. Tapi sekarang aku lapar. Maka kau harus mau jadi makananku,” kata kera dengan tawa terbahak-bahak. Kera yang jahat itu kemudian mencabuti bulu-bulu si ayam. “Tidak…! Jangan kau cabut buluku! Sakit…!” teriak ayam dengan suara pilu. Ayam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Ayam mencoba lari dari cengkeraman si kera jahat. Lalu pada sebuah kesempatan yang tepat, ayam mematuk tangan kera hingga kera itu melepaskan tubuh ayam dalam genggamannya. Setelah berusaha keras tanpa mengenal lelah melompat kesana-kemari, akhirnya ayam berhasil melarikan diri. Ayam berlari sekencang-kencangnya keluar dari hutan. Setelah sekian lama ayam berlari, tibalah ia di rumah sahabatnya yang lain. Ayam tiba di rumah kepiting. Kepiting yang melihat ayam tidak berbulu dan tampak kelelahan membuatnya penasaran. Ia pun bertanya. “Kamu kenapa, ayam? Mengapa napasmu terengah-engah? Kenapa bulu-bulumu rontok semua?” tanya kepiting dengan rasa iba. “Kepiting, aku dicelakai oleh sahabatku sendiri si kera. Ia hendak memakanku,” jawab ayam dengan napasnya yang masih terengah-engah. “Kurang ajar! Tega sekali kera berbuat seperti ini kepadamu,” ucap kepiting tidak percaya. Kemudian ayam menceritakan kejadian dari awal sampai akhir. Mulai dari ajakan kera mengunjungi tempat bermain sampai ia dijebak oleh kera dan akan dimakannya. “Kera harus kita beri pelajaran!” ucap kepiting dengan geram usai menyimak penuturan ayam. Ayam dan kepiting kemudian mengatur siasat untuk memberi pelajaran kepada si kera. Mereka tampak bermusyawarah dengan serius. Tak lama kemudian kepiting membantu ayam menyembuhkan bulu-bulunya yang rontok. Pembalasan Untuk Kera Pengkhianat Beberapa bulan kemudian bulu-bulu di tubuh ayam telah pulih. Ayam dapat mencari makan seperti sedia kala. Ayam kembali bertemu dengan kepiting. Kepiting mengajak ayam menemui kera. Awalnya ayam tidak mau. Ia masih takut kepada kera. “Inilah saat yang tepat untuk menghukum sahabat pengkhianat macam kera itu,” kata kepiting berusaha meyakinkan ayam. “Tapi aku masih takut…” kata ayam. “Tenanglah. Aku akan membantumu,” ujar kepiting. Akhirnya ayam menuruti ide kepiting. Pada hari yang telah disepakati bersama, mereka berdua datang ke tempat kera. Kera tampak asyik duduk di kursi malas. Ayam masih tampak ketakutan melihat si kera. Ia ragu untuk berbicara dengan kera. Akhirnya, kepitinglah yang berbicara kepada kera. “Hai kera, dua hari lagi aku dan ayam akan pergi berlayar ke pulau seberang. Disana banyak makanan enak,” ujar kepiting kepada kera. “Benarkah? Bolehkah aku ikut berlayar dengan kalian,” ucap kera penuh harap. “Boleh saja. Dua hari lagi kami tunggu di pantai. Jangan sampai terlambat ya,” kata kepiting. Tibalah pada hari yang telah disepakati. Mereka berdua bertemu di pinggir pantai. Sebelum mereka berangkat berlayar, perahu dari tanah liat telah disediakan. Ayam dan kepiting sengaja mempersiapkan jauh-jauh hari rencana pembalasan ini. Mereka bertiga bergegas naik perahu menuju pulau seberang. Perahu yang mereka tumpangi semakin lama semakin menjauh dari pantai. Kera yang rakus mulai membayangkan betapa lezatnya buah-buahan yang akan disantapnya nanti, sedangkan ayam dan kepiting mulai saling memberi sandi. Ayam berkokok, “Kukuruyuk….! Aku lubangi kok… kok…. kok….!” Si kepiting menjawab, “Tunggu sampai dalam sekali.” Setiap Kepiting selesai berkata begitu, ayam mematuk-matuk perahu itu. Mereka kemudian mengulangi permainan itu lagi. Si Kera sama sekali tak mengerti apa sebenarnya yang dilakukan ayam dan kepiting. Sedikit demi sedikit perahu itu berlubang. Air laut mulai merembes ke dalam perahu. Lama-kelamaan perahu yang mereka tumpangi bocor. Kera mulai panik tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Perahu semakin lama semakin tenggelam. Kepiting dan ayam bersiaga meninggalkan kera. Mereka bertiga berusaha menyelamatkan diri dengan caranya masing-masing. Si kepiting menyelam ke dasar laut, sedangkan si ayam dengan mudah terbang ke darat. Si kera tampak ketakutan sendirian di atas perahu. Pada dasarnya kera paling takut pada air, apalagi air laut. Ia berusaha meronta-ronta minta tolong, tapi siapa yang dapat menolongnya karena ia sendirian di tengah lautan. Kera juga tidak bisa berenang, maka matilah si kera yang licik itu di tengah lautan yang dalam. Demikian akhir dari cerita fabel kera dan ayam. Amanat cerita dongeng kera dan ayam ini adalah perbuatan jahat akan mendapatkan balasan yang menyakitkan. Jika kita mempunyai sahabat, maka kita tidak boleh mengkhianati sahabat kita. Selain itu, sifat rakus kera telah mematikan kepandaiannya sehingga ia menemui celaka akibat perbuatannya sendiri. Semoga cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara ini bisa memberi inspirasi bagi Anda. Sampai jumpa di artikel The Jombang Taste berikutnya. Daftar Pustaka Rahimsyah, MB. 2007. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Lengkap dari 33 Provinsi. Bintang Usaha Jaya, Surabaya Artikel Terkait
Tidak banyak cerita rakyat dari Maluku yang Kakak miliki, hanya beberapa kisah dari sekian banyak koleksi cerita rakyat Nusantara di blog ini berasal dari Maluku. Salah satu dongeng yang berasal dari Maluku adalah cerita Air Mata Menjadi Telaga yang merupakan asal muasal Telaga Biru di Dusun Lisawa. Karena cerita rakyat ini sangat pendek Kakak tambahkan satu cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yaitu kisah balas dendam penjaga gunung, mudah-mudahan kalian suka dengan kedua dongeng anak ini. Selamat membaca. Cerita Rakyat dari Maluku Legenda Air Mata Menjadi Telaga Dahulu kala, ada sepasang muda-mudi bernama Majojaru dan Magohiduru yang sedang menjalin kasih. Suatu hari, Magohiduuru berpamitan kepada orangtua dan kekasihnya untuk pergi merantau. Sebelum pergi, Majojaru dan Magohiduuru mengikat janji untuk sehidup semati selamanya. Sekian bulan berlalu, terdengar kabar bahwa kapal yang ditumpangi Magohiduuru tenggelam di laut luas dan pemuda itu meninggal dunia. Kabar ini membuat hati Majojaru hancur. Dengan perasaan yang sangat sedih, gadis itu pergi dari rumah untuk menangkan diri. Lalu, ia berhenti di bawah sebuah pohon beringin dan duduk menangis di satu. Air matanya mengalir deras, sehingga menggenang dan menenggelamkan batu-batuan tajam yang ada di sekitar pohon beringin. Gadis itu pun tenggelam oleh air matanya sendiri. Akibatnya, terjadilah sebuah telaga. Airnya sangat bening dan indah. Penduduk menamakan telaga tersebut Telaga Biru. Pemuda dan pernudi di sana sering kali datang ke Telaga Biru untuk saling mengikat janji. Telaga Biru terletak di Dusun Lisawa, Maluku. Pesan moral dari Cerita Rakyat dari Maluku Asal Usul Telaga Biru adalah dalam menghadapi segala masalah, kita harus tegar dan tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Dongeng Anak dari Sulawesi Tenggara Asal Usul Gunung Saba Mpolulu Di Sulawesi Tenggara terdapat dua buah gunung yang letaknya saling berjauhan. Nama gunung tersebut adalah Gunung Kamonsope dan Gunung Mata Air. Penunggu Gunung Kamonsope adalah seorang perempuan yang cantik. Sementara itu, penunggu Gunung Mata Air adalah seorang laki-laki bertubuh gendut. cerita rakyat dari maluku dan Dongeng Anak Sulawesi Tenggara Suatu saat, kemarau melanda daerah ini. Di mana-mana terjadi kekeringan. Namun, wilayah Gunung Kamonsope memiliki persediaan air yang sangat banyak, sehingga tidak mengalami kekeringan. Pengairan sawah tetap terjaga baik dan kebutuhan masyarakat juga terpenuhi. Berbeda dengan Gunung Mata Air. Meskipun namanya Mata Air, wilayah ini mengalami kekeringan yang sangat parah. Untuk memenuhi kebutuhan mandi penduduk saja sulit. Hal ini membuat penunggu Gunung Mata Air gundah. Lalu, ia berniat untuk meminta pertolongan kepada penunggu Gunung Kamonsope. Ia mendatangi penunggu Gunung Kamonsope. “Bisakah aku meminta airmu untuk mengairi wilayahku?” kata penunggu Gunung Mata Air dengan santun. “Maaf, aku tidak bisa menolongmu. Aku juga memeriukan air untuk wilayahku;” kata penunggu Gunung Kamonsope. Penunggu Gunung Mata Air merasa kecewa. Berkali-kali, ia mengulangi permohonannya, tetapi tetap saja tidak dikabulkan oleh penunggu Gunung Makonsope. Laki-laki itu pulang dengan perasaan marah. Ia merasa dilecehkan oleh perempuan penunggu Gunung Kamonsope. Laki-laki itu pun berniat menyerang Gunung Kamonsope menggunakan meriam. Tembakan pertama meleset, begitu juga tembakan kedua dan tembakan ketiga. Sama sekali tidak mengenai Gunung Kamonsope. Menyadari wilayahnya diserang, penunggu Gunung Kamonsope berniat membalasnya menggunakan meriam yang lebih besar. Sekali tembak saja meriam tersebut sudah mengenai puncak Gunung Mata Air sehingga pecah menjadi berbentuk kapak. Semenjak saat itu, Gunung Mata Air diganti namanya menjadi Saba Mpolulu. Saba artinya terkoyak, hilang sebagian. Sementara itu, Mpolulu artinya kapak. Pesan moral dari Dongeng Anak dari Sulawesi Tenggara Asal Usul Gunung Saba Mpolulu adalah selesaikan masalahmu dengan musyawarah, menyelesaikan masalah dnegan kekerasan bisa berakibat kehancuran. Ikuti kisah cerita rakyat terbaik lainnya yang kami miliki pada artikel kami berikut ini Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi
Kamu suka membaca cerita rakyat Nusantara? Dari Sulawesi Selatan, ada kisah yang cukup inspiratif dan menarik tuk dibaca, yakni cerita rakyat La Moelu. Bila ingin membacanya, langsung saja baca artikel berikut ini!Membaca adalah kegiatan positif dan bermanfaat yang bisa kamu lakukan di waktu luang. Untuk lebih mengenal budaya Nusantara, kamu bisa perbanyak membaca legenda atau cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, ada cerita rakyat La Moelu yang kisahnya cukup menarik dan Moelu adalah seorang anak-anak laki yang tinggal bersama ayahnya. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Sedihnya, ayahnya telah berusia senja dan tak bisa lagi mencari bagaimanakah anak yatim tersebut bertahan hidup? Penasaran dengan kisah selengkapnya? Tak perlu berlama-lama lagi, yuk, langsung saja simak cerita selengkapnya di artikel ini! Tak hanya ceritanya saja, ulasan seputar unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya juga telah kami paparkan!Cerita Rakyat La Moelu Pada zaman dahulu, di suatu desa kecil di Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama La Moelu. Saat ia masih bayi, ibunya meninggal sehingga dirinya hanya tinggal dengan ayahnya saja. Sayangnya, sang ayah telah tua renta dan tak bisa mencari nafkah. Jangankan bekerja, untuk berjalan saja ayahnya kesusahan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, La Moelu yang tiap hari harus bekerja keras. Setiap pagi, ia pergi ke hutan tuk mencari kayu bakar yang kan dijualnya ke pasar. Hasil penjualan biasanya ia gunakan untuk membeli beras. Setelah itu, ia pergi ke sungai tuk menangkap ikan buat lauk makan. Pada suatu hari, anak pekerja keras ini telah menyiapkan banyak cacing tanah yang kan ia gunakan sebagai umpan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat segerombolan ikan muncul di permukaan sungai. “Wah, banyak sekali ikannya. Tampaknya, hari ini aku bisa mendapatkan banyak ikan. Aku sudah tak sabar ingin segera memancingnya,” ucapnya antusias. Ia bergegas menyiapkan peralatannya memancing. Di sebuah batu dekat tepi pantai, ia duduk dan menjulurkan pancingnya. Ia menunggu ikan memakan umpannya sembari bersiul-siul. Sayangnya, sudah hampir satu jam ia menunggu, tak ada seekor pun yang terperangkap umpannya. “Lah, ke mana perginya ikan-ikan tadi? Jelas-jelas tadi aku melihat mereka bergerombol. Kenapa sekarang tak ada satu pun yang terperangkap pada pancingku,” gumamnya. Hari pun semakin siang. Tapi, tak satu pun ikan berhasil ia tangkap. Sempat ingin menyerah, La Moelu lalu teringat akan ayahnya di rumah. “Kalau menyerah, nanti aku dan ayah makan apa?” ucapnya dalam hati. Baca juga Legenda Asal Usul Burung Cendrawasih dan Ulasannya, Kisah Si Burung Surga yang Mengandung Amanat Bermakna Menangkap Ikan Mungil Alhasil, ia pun tetap memancing dan bersabar menunggu ikan. Beberapa saat kemudian, pancingnya bergetar. Tampaknya, ada ikan yang memakan umpannya. Dengan penuh hati-hati, ia menarik kailnya. Namun, yang berhasil ia tangkap adalah seekor ikan kecil. Meski begitu, La Moelu tetap senang karena ikannya sangat indah. Warnanya oranye dengan ekor meliuk-liuk. “Aku tak akan memakannya. Akan kujadikan ikan ini sebagai peliharaan,” gumamnya dalam hati. Lalu, ia lanjut memancing dan berhasil mendapatkan ikan besar. Karena matahari sudah semakin panas, ia pun pulan dengan hati gembari. Setibanya di rumah, ia memamerkan hasil tangkapannya ke sang ayah. “Ayah, lihatlah! Aku mendapatkan ikan kecil yang sangat bagus,” teriaknya bahagia. “Wah, warnanya sungguh cantik, anakku. Ikan jenis apa ini?” ucap sang ayah terkagum. “Aku juga tak tahu, Yah. Apakah boleh aku memeliharanya, Yah?” tanya sang anak. “Tentu saja boleh. Kalau pun dimakan, ikan ini tak akan membuat kita kenyang,” ujar sang ayah. La Moelu lalu memindahkan ikan tangkapannya itu ke dalam baskom yang berisi air. Ikan itu ia beri makan agar tak kelaparan. Keesekan harinya, ia terkejut karena ikannya telah sebesar baskom. “Ayah, lihatlah! Ikan ini kenapa sudah sebesar ini? Kemarin bukankah sangat kecil? Bagaiamana bisa ia tumbuh begitu cepatnya?” ujarnya kebingungan. Sang ayah pun terkejut. Ia pun tak menyangka bila ikan itu bisa membesar dengan cepatnya. “Segera pindahkan ikannya ke dalam lesung, Nak. Kasihan jika ia merasa kesempitan,” pinta sang ayah. Dengan cepat, La Moelu langsung mengisi lesung dengan air. Ia lalu memindahkan ikannya ke dalam lesung. Setelah memberikan sedikit makanan, ia berkata pada ikan itu, “Kenapa kamu cepat tumbuh, Kan? Apakah kamu ikan ajaib?” Semakin Membesar Keajaiban itu kembali terjadi di keesokan harinya. Ikan yang semula sebesar baskom, kini sebesar lesung. Sontak, hal itu membuat La Moelu dan ayahnya terkejut. Mereka lalu memindahkannya ke tempat yang lebih besar, yakni di dalam guci. Pada hari berikutnya, ikan berwarna oranye itu kembali menghebohkan si anak dan ayahnya. Tubuhnya kembali membesar seukuran dengan wadahnya. Kali ini, La Moelu bingung memindahkannya di mana. Setelah mencari tempat, akhirnya ia menemukan drum besar. Ikan itu lalu ia pindahkan ke dalam drum tersebut. Mereka beranggapan bila hewan tersebut tak akan membesar seukuran drum. Namun, perkiraaan mereka salah. Saat esok tiba, betapa terkejutnya mereka melihat ikan itu sudah memenuhi drum tersebut. Karena khawatir ikan itu terus membesar, pada akhirnya La Moelu membawanya ke laut. Sebelum melepasnya ke laut, ia berpesan pada sang ikan. “Hai, ikan ajaib! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika kelak aku memanggilmu, datanglah ke tepi laut. Aku akan memberimu makan. Aku tak dapat lagi memeliharamu di rumah, karena tubuhmu terus-terusan membesar,” ujar anak baik itu. Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya. Kemudian, La Moelu melepaskannya ke lautan. Ikan itu tampak senang karena dapat bergerak dengan bebas di samudera luas. Sesuai janji, anak kecil itu keesokan harinya datang ke tepi laut. Ia lalu berteriak memanggil nama ikannya, “Jinnande Teremombonga!” Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga datang menghampirinya. Ia lalu memberikan ikan itu makanan sembari mengajaknya bicara. “Tubuhmu makin besar saja. Kau tampak makin indah,” ujarnya. Jinnande Teremombonga memberi respon dengan cara mengibas-ngibaskan ekor. Jinnande Teremombonga Terancam Bahaya Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa La Moelu datang ke tepi laut untuk memberi makan Jinnande Teremombonga. Ternyata, ada tiga pemuda yang mengikuti La Moelu. Ketiga pemuda itu rupanya tetangga La Moelu yang penasaran ke mana perginya anak laki-laki ini tiap pagi. Betapa terkejutnya mereka mendapati anak itu sedang memberi makan pada ikan besar. Muncullah niat jahat dalam benak mereka. “Kawan-kawan, bagaimana kalau kita menangkap ikan besar itu? Pasti bakal laku mahal jika kita menjualnya di pasar,” ujar salah satu pemuda paling tua. “Tunggu dulu, jangan gegabah! Kita tunggu dulu anak kecil itu pulang. Barulah kita menangkap ikan raksasa,” ujar pemuda lain. Setelah La Moelu pergi, ketiga pemuda itu mendekati tepi laut. Akan tetapi, mereka tak tahu bagaimana caranya mendapatkan ikan besar itu. “Tampaknya, ikan itu tak akan mendekati kita. Tapi, bagaimana cara membuatnya ke tepi laut?” ujar salah satu pemuda. “Hmm, tampaknya kita harus kembali lagi besok pagi dan mengamati apa yang anak kecil itu lakukan untuk memanggil ikannya,” ucap pemuda paling tua. Akhirnya, mereka pun pulang dengan tangan kosong. Keesokan harinya, mereka kembali mendekati La Moelu. Kali ini, mereka memperhatikan dengan seksama gerak-gerik La Moelu. Akhirnya, mereka tahu cara memanggil hewan raksasa itu. Usai memberi makan, La Moelu bergegas pergi karena ia harus segera ke pasar dan ke sungai tuk memancing ikan. Kemudian, ketiga pemuda itu mendekat ke tepi laut. Mereka lalu berteriak memanggil Jinnande Teremombonga. “Jinnande Teremombonga! Datanglah kemari!” ucap pemuda lainnya. Tak lama kemudian, Jinnande Teremombonga datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang yang memanggilnya bukanlah Moelu, Jinnande Teremombonga langsung kembali pergi menjauh. “Hah? Kenapa ikan itu pergi lagi?” tanyanya. “Mungkin, dia takut padamu! Coba aku saja yang memanggilnya,” ucap salah satu pemuda. “Jinnande Teremombonga! Kemarilah!” teriaknya. Ikan itu datang mendekat, tapi mendapati yang datang bukanlah tuannya, ia kembali menghindar. Saat pemuda terakhir mencoba memanggilnya, hal itu terjadi lagi. Sampai akhirnya, mereka pun mengatur strategi. Upaya Menangkap Jinnande Teremombonga Setelah berdiskusi sekian lama, akhirnya ketiga pemuda itu menemukan rencana. Salah satu dari mereka akan memanggil Jinnande Teremombonga, saat tiba di tepi laut, kedua pemuda lainnya akan menangkapnya dengan tombak. Dan ternyata, rencana mereka berhasil. Ketika Jinnande Teremombonga tiba di tepi laut, kedua pemuda itu langsung menghunus perutnya dengan tombak. Meski sempat mencoba melawan, Jinnande Teremombonga akhirnya kalah dan mati. Dengan teganya, para pemuda itu lalu memotong-motong Jinnande Teremombonga dan membagi rata. Lalu, mereka membawa sebagian ikan ke pasar dan menjualnya. Sisanya mereka bawa pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan temannya. Tentunya, ia belum tahu nasib buruk yang menimpa ikan kesayangannya itu. Ia memanggilnya berulang kali, tapi ikan itu tak kunjung datang. “Jinnande Teremombonga, kenapa kau tak kunjung mendatangiku? Apa kau tak lapar? Ada apa denganmu?” ucapnya cemas. Sudah cukup lama ia menanti temannya itu. Ia berkali-kali memanggilnya, tapi tak kunjung ada yang mendekat. Bahkan, ia memanggilnya lebih keras, tapi Jinnande Teremombonga tak kunjung datang. La Moelu pun mulai cemas. Ia khawatir bila ada suatu hal buruk yang menimpa kawannya. “Ke mana perginya dirimu? Jangan-jangan ada suatu hal buruk yang menimpamu?” gumamnya dalam hati. Hingga sore tiba, Jinnande Teremombonga tak kunjung menampakkan diri. Karena lelah, ia memutuskan tuk pulang. Dengan raut wajah sedih dan kecewa, La Moelu menceritakan kesedihannya pada sang ayah. Tetangga yang Jahat Saat malam datang, tiba-tiba saja La Moelu menghirup aroma sedap ikan goreng. Sontak, hal itu membuatnya teringat akan Jinnande Teremombonga. Ia bergegas dari tempat tidurnya dan mendatangi sumber aroma. Aroma sedap itu berasal dari rumah tetangganya. Ia pun mengunjungi rumah itu untuk memastikan ikan jenis apakah yang mereka goreng. Saat mendatangi rumah tetangganya, ia disambut dengan pemuda paling tua yang tadi pagi menangkap Jinnande Teremombonga. “Oh hai, pria kecil. Apa yang membuatmu datang kemari?” tanyanya. “Aku mencium aroma sedap ikan goreng dari rumahku. Apakah kamu yang sedang menggorengnya?” tanya La Moelu. “Wah, ternyata aromanya menyebar hingga ke rumahmu, ya. Iya, benar sekali. Saudaraku sedang menggoreng ikan. Kau mau?” jelas pemuda itu. “Tidak, terima kasih. Aku hanya penasaran, ikan jenis apa yang kalian goreng?” tanyanya penasaran. “Hanya ikan biasa. Kenapa?” jawab pemuda itu cemas. Ia nampaknya takut ketahuan bahwa ikan yang digorengnya sebenarnya adalah Jinnande Teremombonga. “Apakah ikannya besar? Apakah kau menangkapnya di lautan?” tanya La Moelu mendesak pemuda itu. Karena merasa terdesak, akhirnya pemuda itu membuat pengakuan. “Iya, kamu benar. Ikannya berukuran besar dan aku menangkapnya di lautan. Memangnya kenapa hai anak yatim?” ucapnya dengan nada mengejek. Betapa sakit hati La Moelu mendengar ucapan tersebut. Lalu, pemuda itu memberinya tulang Jinnande Teremombonga. “Ini aku berikan tulang ikannya. Karena dagingnya sebagian sudah kujual dan sisanya akan kami makan. Anggap saja ini kenang-kenangan buatmu,” ucapnya. Tentu saja La Moelu menerima tulang ikan itu. Sepanjang jalan, ia menangis tersedu. Ia tak menyangka teman yang ia rawat selama ini dimakan oleh tetangganya sendiri. Ayahnya lalu meminta La Moelu untuk mengubur Jinnande Teremombonga di belakang rumah mereka. Ia pun menuruti kata sang ayah. Karena masih bersedih, ia pun menangis di atas makam Jinnande Teremombonga. Sebuah Keajaiban Terjadi Keesokan harinya, La Moelu hendak memberikan sedikit air pada makam Jinnande Teremombonga. Ia tak ingin temannya kekeringan. Namun, betapa terkejut dirinya mendapati makam temannya ditumbuhi oleh pohon ajaib. Pohon itu berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Karena terkejut, La Moelu pun berteriak, “Ayah, ayah! Kemarilah, Yah! Lihatlah pohon ini.” Sang ayah langsung mengambil tongkatnya dan berjalan ke belakang rumah. Alangkah terkejut dirinya memandang pohon itu. “Ini adalah berkah yang Tuhan berikan karena kamu telah merawat Jinnande Teremombonga dengan baik. Rawatlah pohon ini sebagaimana kamu merawat temanmu Jinnande Teremombonga,” ucap sang ayah dengan bijak. Sesuai perintah ayahnya, La Moelu merawat pohon itu dengan baik. Setiap pagi, ia menyirami dan memotong rumput-rumput di sekitar pohon itu. Sesekali, ia mengajaknya ngobrol. La Moelu menganggapnya seperti teman sendiri. Semakin hari, pohon itu semakin besar. Daun dan buahnya mulai berguguran. La Moelu mengambil daun-daun dan bunga itu lalu menjualnnya ke pasar. Tentu saja hal itu membuat ia dan ayahnya menjadi kaya raya. Meski begitu, mereka tak tamak. Ketika ada tetangganya yang mengalami kesulitan, mereka dengan senang hati membantu. Mereka juga tak gelap mata. Meski bisa menghasilkan banyak uang, mereka tak akan memetik bunga, daun, atau buah sebelum berguguran sendiri dari pohonnya. Suatu hari, ketiga pemuda yang dulu menangkap dan membunuh Jinnande Teremombonga datang ke rumah La Moelu. Mereka meminta maaf pada anak kecil itu. Bagaimana tidak, mereka ternyata sakit-sakitan setelah memakan daging Jinnande Teremombonga. Tubuh mereka gatal dan bersisik. Uang hasil penjualan ikan itu pun tak cukup buat berobat. Dengan ketulusan hati, La Moelu memaafkan mereka. Ia juga berpesan pada mereka agar tak mengambil lagi milik orang lain. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Ikan Pesut Mahakam dan Ulasan Menariknya, Sebuah Pelajaran Bagi Orang Tua Unsur Intrinsik Setelah membaca cerita rakyat La Moelu, apakah kamu penasaran dengan unsur intrinsiknya? Buat yang penasaran dengan ulasan seputar tema hingga pesan moralnya, langsung saja baca informasi di bawah ini; 1. Tema Inti cerita atau tema dari cerita rakyat La Moelu adalah tentang kasih sayang antar sesama makhluk hidup. Dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, seorang anak laki-laki merawat ikan hasil tangkapannya. Meski telah dibebaskan di lautan, ia tetap memberi makan ikannya itu. Tak hanya itu saja, legenda ini juga mengisahkan tentang seorang anak yang pekerja keras. Meski hidup tanpa seorang ibu dan harus merawat ayahnya yang sudah tua, ia tak pernah mengeluh. 2. Tokoh dan Perwatakan Tokoh utama dalam cerita rakyat ini adalah La Moelu dan ayahnya. La Moelu digambarkan sebagai anak kecil yang tangguh dan pekerja keras. Meski kehidupannya mengalami kesulitan, ia tak pernah mengeluh. Ayahnya juga memiliki sifat yang tak kalah baik. Ia merupakan sosok ayah yang bijak dan pengertian. Hanya saja, ia sudah berusia senja sehingga tak kuasa untuk membantu anaknya bekerja. Dalam kisah ini juga terdapat tokoh antagonis, yakni tiga pemuda bersaudara yang merupakan tetangga La Moelu. Mereka adalah pembuat konflik dalam kisah ini yang digambarkan bersikap dingin, jahat, dan tidak punya hati nurani. 3. Latar Legenda yang berasal dari Sulawesi Tenggara ini menggunakan beberapa latar tempat. Beberapa di antaranya adalah rumah La Moelu, sungai tempat ia memancing, rumah tetangganya, dan belakang ruma 4. Alur Cerita Rakyat La Moelu Menceritakan plot dari awal hingga akhir secara berurutan, cerita rakyat La Moelu ini memiliki alur maju. Cerita bermula dari seorang anak yatim piatu yang tak sengaja menangkap ikan kecil. Ia memutuskan untuk memelihara ikan kecil itu. Namun, semakin hari, tubuh hewan tersebut semakin membesar. Akhirnya, La Moelu melepasnya ke lautan luas. Sebelum melepasnya, ia memberi nama ikannya Jinnande Teremombonga. Tiap pagi, ia memanggil Jinnande Teremombonga dan memberinya makan. Sayangnya, Jinnande Teremombonga ditangkap dan dibunuh oleh tetangga La Moelu. Mereka memakan dan menjualnya. Tentu saja La Moelu bersedih mendapati ikannya telah mati. Ia lalu membawa tulang temannya itu ke rumah dan menguburnya. Keeseokan harinya, keajaiban pun terjadi. Tulang ikan tersebut berubah menjadi pohon ajaib yang mengubah kehidupan La Moelu dan ayahnya. 5. Pesan Moral Setiap cerita rakyat Nusantara memiliki amanat atau pesan moral. Tak terkecuali cerita rakyat La Moelu. Kira-kira, apa sajakah pesan moral yang bisa kamu petik dari legenda ini? Tentu saja ada beberapa pesan moral, salah satunya adalah jadilah pekerja keras seperti La Moelu. Meski masih kecil, ia berkewajiban untuk menghidupi dirinya sendiri dan ayahnya. Setiap hari, ia mencari ikan tuk dimakan dan kayu bakar tuk dijualnya. Meski kehidupannya berat, ia tak pernah mengeluh. Dari tokoh utama ini, belajarlah untuk menyayangi seseama ciptaan Tuhan. Ia dengan baik dan hati-hati menjaga serta merawat Jinnande Teremombonga yang merupakan ikan peliharaannya. Cerita ini juga mengajarkan kamu untuk selalu berbakti dan menuruti perkataan orang tua. La Moelu selalu meminta izin dan pendapat dari ayahnya, serta menuruti nasihatnya. Ia tak pernah sekali pun membantah sang ayah. Berikutnya, jadilah orang yang sederhana dan tak tamak. Meski memiliki pohon berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian, La Moelu dan ayahnya tidak sombong. Mereka justru kerap membantu tetangga yang sedang mengalami kesulitan. Pesan terakhir adalah jangan mengambil apa pun yang bukan milikmu, seperti yang dilakukan tiga pemuda dalam legenda ini. Karena mencuri ikan milik La Moelu, mereka pun terkena penyakit yang tak kunjung sembuh. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupakan juga unsru ekstrinsik yang membangun cerita rakyat La Moelu. Unsur ekstrinsik ini biasanya berhubungan dengan nilai moral, sosial, dan budaya. Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Fakta Menarik Tak banyak fakta menarik yang dapat diulik dari cerita rakyat La Moelu ini. Berikut adalah ulasan singkatnya; 1. Ada Versi Cerita Lainnya Legenda atau cerita rakyat memang umumnya memiliki beberapa versi cerita. Begitu pula dengan cerita rakyat La Moelu. Ada satu versi cerita yang mengisahkan bahwa La Moelu tidak menghampiri rumah tetangganya yang menangkap Jinnande Teremombonga. Ia melihat sendiri tetangganya itu sedang menangkap Jinnande Teremombonga di laut. Tubuhnya yang terlalu kecil tak kuasa melawan tiga pemuda yang merupakan tetangganya itu. Bahkan, di depan matanya sendiri, La Moelu menyaksikan ikannya dimakan oleh ketiga pemuda tersebut. Tak ada hentinya anak kecil itu menangisi temannya. Usai memakan Jinnande Teremombonga, ketiga pemuda itu pun pergi meninggalkan tulang belulang. Dengan hati yang terluka, La Moelu mengumpulkan tulang ikan itu dan menguburnya di halaman rumah. Saat air matanya menetes di kuburan ikannya, tiba-tiba saja sebuah pohon tumbuh dari tanah itu. Ajaibnya, pohon itu berbatang emas dan berdaun perak. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Suka dengan Cerita Rakyat La Moelu? Nah, inilah akhir dari artikel yang membahas cerita rakyat La Moelu beserta unsur intrinsiknya. Apakah kamu suka dengan kisahnya? Kalau suka, jangan ragu tuk membagikan artikel ini pada teman-temanmu, ya. Kalau kamu masih butuh kisah lainnya, langsung saja cek kanal Ruang Pena pada Ada cerita legenda Oheo, kisah Putri Gading cempaka, asal usul Danau Toba, dan masih banyak lainnya. Selamat membaca! PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
Sulawesi Tenggara - Indonesia Rating 25 pemilih Gunung Mekongga memiliki ketinggian m di atas permukaan laut, terletak di Kecamatan Ranteangin, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Menurut bahasa setempat, kata gunung mekongga berarti gunung tempat matinya seekor elang atau garuda raksasa yang ditaklukkan oleh seorang pemuda bernama Tasahea dari negeri Loeya. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi di daerah itu, sehingga Tasahea menaklukkan burung garuda itu? Lalu, bagaimana cara Tasahea menaklukkannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Nama Gunung Mekongga berikut ini. * * * Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume kini bernama negeri Kolaka dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis. Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan cemas. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya. Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba kini bernama Belandete ada seorang cerdik pandai dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar. Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi. ”Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul. ”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan. ”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh bambu yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi. Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke negerinya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria, baik yang ada di negeri sendiri maupun dari negeri lain, untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda. Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai negeri untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Negeri Kolaka. ”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan. Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Setelah melalui penyaringan yang ketat, akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari negeri Loeya. Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu. Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu. ”Koeeek... Koeeek... Koeeek... !!!” pekik burung garuda itu kesakitan. Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu. Tasahea menombak burung garuda Sementara itu, penduduk negeri Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan. Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi. ”Negeri kami dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan. ”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi kepada utusan yang baru datang dengan tergopoh-gopoh. ”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka. ”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi. Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit. ”Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!” demikian doa Larumbalangi. Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur bersahut-sahutan diiringi suara petir menyambar sambung-menyambung. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut. Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garuda. Budak laki-laki dari Negeri Loeya yang berhasil menaklukkan burung garuda tersebut diangkat derajatnya menjadi seorang bangsawan. Sedangkan Larumbalangi yang berasal dari negeri Solumba diangkat menjadi pemimpin Negeri Kolaka, yaitu negeri yang memiliki tujuh bagian wilayah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan ”Tonomotuo”. * * * Demikian ceita Asal Mula Nama Gunung Mekongga dari daerah Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Orang yang tidak mudah berputus asa adalah termasuk orang yang senantiasa berpikiran jauh ke depan dan pantang menyerah jika ditimpa musibah. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku masyarakat Kolaka yang ditimpa musibah. Mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari bantuan agar negeri mereka terbebas dari bencana. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu yang berpikiran jauh,ditimpa musibah pantang mengeluh yang berpikiran jauh,tahu mencari tempat berteduh Samsuni /sas/97/09-08 Sumber Isi cerita diadaptasi dari Sidu, La Ode. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara. Jakarta - 29k, diakses tanggal 3 September Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa. Kredit foto Dibaca kali Hak Cipta Telah Didaftarkan pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonseia Copyrights by Dilarang keras mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan cerita-cerita di website ini tanpa seizin penulis dan Silahkan memberikan rating anda terhadap cerita ini. Komentar untuk "" Berikan Komentar Anda
cerita rakyat dari sulawesi tenggara